Minggu, 28 Februari 2016

Budaya mencontek di kalangan pelajar

Mengapa Budaya mencontek di kalangan pelajar tidak pernah di tinggalkan ?

menyontek mungkin sudah tidak asing lagi bagi pelajar dan mahasiswa. Setiap orang pasti ingin mendapat nilai yang baik dalam ujian, dan sudah tentu berbagai macam cara dilakukan untuk mencapai tujuan itu. Masalah menyontek selalu terkait dengan tes atau ujian. Banyak orang beranggapan menyontek sebagai masalah yang biasa saja, namun ada juga yang memandang serius masalah ini.

Fenomena ini sering terjadi dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah atau madrasah, tetapi jarang kita dengar masalah menyontek dibahas dalam tingkatan atas, cukup diselesaikan oleh guru atau paling tinggi pada tingkat pimpinan sekolah atau madrasah itu sendiri.

Sudah dimaklumi bahwa orientasi belajar siswa-siswi di sekolah hanya untuk mendapatkan nilai tinggi dan lulus ujian, lebih banyak kemampuan kognitif dari afektif dan psikomotor, inilah yang membuat mereka mengambil jalan pintas, tidak jujur dalam ujian atau melakukan praktek mencontek.

Proses belajar yang orientasinya hanya untuk mendapatkan nilai menurut Megawangi (2005), biasanya hanya melibatkan aspek kognitif (hafalan dan drilling), dan tidak melibatkan aspek afektif, emosi, sosial, dan spiritual. Memang sulit untuk mengukur aspek-aspek tersebut, sehingga bentuk soal-soal pasti hafalan atau pilihan berganda (kognitif). Pelajaran agama, PPKN, dan musik yang seharusnya melibatkan aspek afektif, ternyata juga di "kognitifkan" (hafalan) sehingga tidak ada proses refleksi dan apresiasi.

Karena, menghafal buku teks (yang memang diwajibkan untuk bisa menjawab soal ujian), adalah skill yang paling tidak penting bagi manusia . Jadi, mereka didik hanya menjadi robot; tidak ada inisiatif, dan pasif. Manusia ini biasanya tidak dapat berpikir kritis, dan tidak dapat menganalisis permasalahan, apalagi mencari solusinya, sehingga mudah dipengaruhi dan diprovokasi untuk melakukan hal-hal yang negatif. (Megawangi, 2005).

Pengalaman penulis ketika di Sekolah Dasar budaya menyontek sudah mulai ada, ketika latihan menjawab soal-soal matematika,beberapa teman-teman sudah berani melihat jawaban temanya dan menyalinnya. Di Sekolah Menengah Pertama, penulis menjadi korban teman yang nakal dan malas yang secara tiba-tiba mengambil jawaban penulis dan menyalinnya di lembar jawabannya, perbuatan ini tidak bisa dicegah karena ada rasa takut dan kasihan dengannya. Bahkan terkadang mereka tanpa takut dan malu melihat buku catatan dan meminta jawaban kepada teman yang dianggap pintar ketika ujian. Perbuatan ini mungkin saja diketahui oleh pengawas atau guru mata pelajaran yang diujikan, atau mungkin pula mereka pura-pura tidak tahu, entahlah yang jelas nilai ujian mereka ternyata hasilnya cukup baik.

Anehnya perbuatan menyontek tersebut dibiarkan saja oleh pengawas ujian (pada waktu itu ulangan umum), tidak dilaporkan kepada guru, Meskipun ada guru yang mengetahuinya, mereka tidak menanggapinya dengan serius, tidak memberi teguran serta sanksi sama sekali, mungkin hal tersebut adalah hal biasa saja dan bagian dari usaha para siswa.

Jika tidak ada sanksi, maka orang akan cenderung mengulangi lagi. Jelas ini merugikan siswa-siswi yang rajin belajar, karena objektifitas penilaian tidak ada sama sekali yang dilihat hasil ujian bukan keseluruhan proses dalam pembelajaran. Dan pernah terjadi siswa yang jujur dalam menjawab pertanyaan nilainya lebih rendah daripada siswa yang jelas-jelas menyontek siswa yang jujur tersebut. Akibatnya ia menjadi prustasi, dendam dan marah kepada diri sendiri yang mudah sekali dicontek teman, marah kepada teman yang menyonteknya, marah kepada guru yang memberi nilai yang tidak obyektif. Penulis pernah merasa kecewa sekali ketika ujian salah satu mata pelajaran yang penulis sendiri yakin akan kebenaran jawaban itu tiba-tiba ada pengawas yang menuliskan jawaban itu di papan tulis. Tentu mengembirakan siswa-siswi yang tidak bisa menjawab tetapi mengecewakan siswa-siswi yang benar menjawabnya.

Tetapi ada juga guru yang mempunyai pengalaman yang luas dan mengetahui karakteristik siswanya, sang guru akan curiga jika siswa yang sehari-harinya biasa-biasa saja, ketika ulangan atau ujian nilainya bagus semua, dan semakin curiga lagi jika jawaban siswa tersebut sama persis dengan buku catatan dan sama dengan jawaban anak yang pintar dan duduk didekat atau disebelahnya.

Ketika penulis berada di Sekolah Menengah Atas, masalah ini semakin banyak saja, dan suatu peristiswa yang penulis saksikan seorang juara kelas dibuat malu oleh gurunya karena dicurigai bekerjasama dalam ulangan harian sehingga harus ulangan harian lagi bersama-sama siswa-siswi yang dicurigai menyontek atau bekerja sama. Padahal menurut penulis pada waktu itu tidak mungkin seorang juara kelas menyontek, pasti jawabannya yang dicontek teman yang lain sehingga jawaban mereka sama semua.
Dan masih di sekolah tersebut teman penulis yang nilainya pas-pasan pada semester pertama, dan mendapat rangking di atas 40 dari 50 siswa, tiba-tiba masuk sepuluh besar di kelas itu disebabkan ketika ulangan umum semester kedua ia duduk sebangku dengan juara kelas. Apakah ini adil dan obyektif.

Dimana pengamatan guru selama ini terhadap siswa-siswinya.
Masih masalah menyontek ternyata di perguruan tinggi semakin canggih lagi, karena ada istilah dikalangan mahasiswa “ngakal tetapi berakal, menyontak pakai otak”. maksudnya menyontek itu tidak sama dengan menyalin pelajaran, ambil intinya saja, atau menggunakan kata-kata lain yang maksudnya sama dengan yang ada di buku dan jawaban teman.

Anehnya perbuatan contek menyontek dikalangan pelajar sampai saat ini masih saja ada, tidak pernah terdengar ada sanksi, skorsing, pengurangan nilai atau pembatalan kenaikan kelas bagi siswa-siswi yang ketahuan menyontek dalam ulangan. Tidak pernah ada dalam rapat orang tua, guru, kepala sekolah, pengawas, dan pembina pendidikan membicarakan masalah menyontek, sekolah seakan menutup diri, seolah-olah semua siswa-siswinya bersih dalam praktek menyontek.

Satu hal lagi yang merugikan para siswa adalah sistem penilaian guru sangat subyektif, kebanyakan menilai jawaban siswa saja, tanpa melihat proses bagaimana ia mendapatkan nilai tersebut, sehingga menimbulkan kerugiaan tidak hanya pada siswa yang pintar tetapi juga pada siswa yang malas.

Jika ini terus dibiarkan saja oleh kita sebagai guru, orang tua murid, pemerhati pendidikan, pejabat pemerintah dan semua komponen masyarakat lainnya, maka dunia pendidikan tidak akan maju, malahan menciptakan manusia tidak jujur, malas, yang cenderung mencari jalan pintas dalam segala sesuatu dan akhirnya menjadi manusia yang menghalalkan segala cara untukmencapai tujuan yang diinginkannya
 

Tinjauan Teori
 

1. Pengertian menyontek
Menyontek atau menjiplak atau ngepek menurut Kamus Bahasa Indonesia karangan W.J.S. Purwadarminta adalah mencontoh, meniru, atau mengutip tulisan, pekerjaan orang lain sebagaimana aslinya.

Dalam artikel yang ditulis oleh Alhadza (2004) kata menyontek sama dengan cheating. Beliau mengutif pendapat Bower (1964) yang mengatakan cheating adalah perbuatan yang menggunakan cara-cara yang tidak sah untuk tujuan yang sah/terhormat yaitu mendapatkan keberhasilan akademis atau menghindari kegagalan akademis. Sedang menurut Deighton (1971), cheating adalah upaya yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan keberhasilan dengan cara-cara yang tidak fair (tidak jujur).

Menurut Suparno (2000). Segala sistem dan taktik penyontekan sudah dikenal siswa. Sistem suap agar mendapat nilai baik, juga membayar guru agar membocorkan soal ulangan, sudah menjadi praktik biasa dalam dunia pendidikan di Indonesia.

Berdasarkan contoh-contoh pengalaman diatas dalam tulisan ini adalah menyontek adalah suatu perbuatan atau cara-cara yang tidak jujur, curang, dan menghalalkan segala cara untuk mencapai nilai yang terbaik dalam ulangan atau ujian pada setiap mata pelajaran

2. Katagori Menyontek

Menyontek dapat dikatagorikan dalam dua bagian ; pertama menyontek dengan usaha sendiri; kedua dengan kerjasama. Usaha sendiri disini adalah dengan membuat catatan sendiri, buka buku, dengan alat bantu lain seperti membuat coretan-coretan dikertas kecil, rumus ditangan, di kerah baju, bisa juga dengan mencuri jawaban teman Kerjasama dengan teman dengan cara membuat kesepakatan terlebih dahulu dan membuat kode-kode tertentu atau meminta jawaban kepada teman.

Dalam makalah yang ditulis Alhadza (2004) yang termasuk dalam kategori menyontek antara lain adalah meniru pekerjaan teman, bertanya langsung pada teman ketika sedang mengerjakan tes/ujian, membawa catatan pada kertas, pada anggota badan atau pada pakaian masuk ke ruang ujian, menerima dropping jawaban dari pihak luar, mencari bocoran soal, arisan (saling tukar) mengerjakan tugas dengan teman, menyuruh atau meminta bantuan orang lain dalam menyelesaikan tugas ujian di kelas atau tugas penulisan paper dan take home test.

3. Tinjauan Psikologi Tentang Menyontek (Cheating)

Menurut, Dien F. Iqbal, dosen Fakultas Psikologi Unpad, seperti yang dikutip Rakasiwi (2007) orang menyontek disebabkan faktor dari dalam dan di luar dirinya. Dalam ilmu psikologi, ada yang disebut konsep diri dan harga diri. Konsep diri merupakan gambaran apa yang orang-orang bayangkan, nilai dan rasakan tentang dirinya sendiri. Misalnya, anggapan bahwa, "Saya adalah orang pintar". Anggapan itu lalu akan memunculkan kompenen afektif yang disebut harga diri. Namun, anggapan seperti itu bisa runtuh, terutama saat berhadapan dengan lingkungan di luar pribadinya. Di mana sebagai kelompok, maka harus sepenanggungan dan senasib. Senang bersama, duka mesti dibagi.

Menurut Bandura (dalam Vegawati, Oki dan Noviani, 2004), fungsi psikologis merupakan hubungan timbal balik yang interdependen dan berlangsung terus menerus antara faktor individu, tingkah laku, dan lingkungan. Dalam hal ini, faktor penentu tingkah laku internal (a.l., keyakinan dan harapan), serta faktor penentu eksternal (a.l., "hadiah" dan "hukuman") merupakan bagian dari sistem pengaruh yang saling berinteraksi. Proses interaksi yang terjadi dalam individu terdiri dari empat proses, yaitu atensi, retensi, reproduksi motorik, dan motivasi.

Menurut Vegawati, Oki dan Noviani, (2004), Pada saat dorongan tingkah laku mencontek muncul, terjadilah proses atensi, yaitu muncul ketertarikan terhadap dorongan karena adanya harapan mengenai hasil yang akan dicapai jika ia mencontek. Pada proses retensi, faktor-faktor yang memberikan atensi terhadap stimulus perilaku mencontek itu menjadi sebuah informasi baru atau digunakan untuk mengingat kembali pengetahuan maupun pengalaman mengenai perilaku mencontek, baik secara maya (imaginary) maupun nyata (visual).

Proses selanjutnya adalah reproduksi motorik, yaitu memanfaatkan pengetahuan dan pengalamannya mengenai perilaku mencontek untuk memprediksi sejauh mana kemampuan maupun kecakapannya dalam melakukan tingkah laku mencontek tersebut. Dalam hal ini, ia juga mempertimbangkan konsekuensi apa yang akan ia dapatkan jika perilaku tersebut muncul. Dalam proses ini, terjadi mediasi dan regulasi kognitif, di mana kognisi berperan dalam mengukur kemungkinan-kemungkinan konsekuensi apa yang akan diterimanya bila ia mencontek.

Dari teori-teori tentang motivasi, diketahui bahwa cheating bisa terjadi apabila seseorang berada dalam kondisi underpressure, atau apabila dorongan atau harapan untuk berprestasi jauh lebih besar dari pada potensi yang dimiliki. Semakin besar harapan atau semakin tinggi prestasi yang diinginkan dan semakin kecil potensi yang dimiliki maka semakin besar hasrat dan kemungkinan untuk melakukan cheating. Dalam hal seperti itu maka, perilaku cheating tinggal menunggu kesempatan atau peluang saja, seperti kita dengar iklan di televisi mengatakan tentang teori kriminal bahwa kejahatan akan terjadi apabila bertemu antara niat dan kesempatan.

Pertimbangan-pertimbangan yang sering digunakan adalah nilai-nilai agama yang akan memunculkan perasaan bersalah dan perasaan berdosa, kepuasan diri terhadap "prestasi" akademik yang dimilikinya, dan juga karena sistem pengawasan ujian, kondusif atau tidak untuk mencontek. Masalah kepuasan "prestasi" akademik juga akan menjadi sebuah konsekuensi yang mungkin menjadi pertimbangan bagi seseorang untuk mencontek. Bila ia mencontek, maka ia menjadi tidak puas dengan hasil yang diperolehnya.

Yesmil Anwar (dalam Rakasiwi, 2007) mengatakan, sebenarnya nilai hanya menjadi alat untuk mencapai tujuan dan bukan tujuan dari pendidikan itu sendiri. Karena pendidikan sejatinya adalah sebuah proses manusia mencari pencerahan dari ketidaktahuan. Yesmil Anwar, mengungkapkan, bahwa menyontek telanjur dianggap sepele oleh masyarakat. Padahal, bahayanya sangat luar biasa. Bahaya buat si anak didik sekaligus untuk masa depan pendidikan Indonesia. Ibarat jarum kecil di bagian karburator motor. Sekali saja jarum itu rusak, mesin motor pun mati.

Masalah yang di alami siswa
 

Dalam tulisan ini penulis ingin memaparkan kenapa perbuatan mencontek sering terjadi dikalangan pelajar, apa dampaknya dan bagaimana mengatasinya.

Menurut Alhadza (2004) dalam makalahnya mengenai masalah menyontek yang ia istilahkan dengan cheating menyebarkan kuesioner dengan pertanyaan terbuka kepada sekitar 60 orang teman mahasiswa di PPS UNJ. Dari hasil kuisioner tersebut didapatkan jawaban tentang alasan seseorang melakukan cheating dengan pengelompokan sebagai berikut.

1. Karena terpengaruh setelah melihat orang lain melakukan cheating meskipun pada awalnya tidak ada niat melakukannya.
2. Terpaksa membuka buku karena pertanyaan ujian terlalu membuku (buku sentris) sehingga memaksa peserta ujian harus menghapal kata demi kata dari buku teks.
3. Merasa dosen/guru kurang adil dan diskriminatif dalam pemberian nilai.
4. Adanya peluang karena pengawasan yang tidak ketat.
5. Takut gagal. Yang bersangkutan tidak siap menghadapi ujian tetapi tidak mau menundanya dan tidak mau gagal.
6. Ingin mendapatkan nilai tinggi tetapi tidak bersedia mengimbangi dengan belajar keras atau serius.
7. Tidak percaya diri. Sebenarya yang bersangkutan sudah belajar teratur tetapi ada kekhawatiran akan lupa lalu akan menimbulkan kefatalan, sehingga perlu diantisipasi dengan membawa catatan kecil.
8. Terlalu cemas menghadapi ujian sehingga hilang ingatan sama sekali lalu terpaksa buka buku atau bertanya kepada teman yang duduk berdekatan.
9. Merasa sudah sulit menghafal atau mengingat karena faktor usia, sementara soal yang dibuat penguji sangat menekankan kepada kemampuan mengingat.
10. Mencari jalan pintas dengan pertimbangan daripada mempelajari sesuatu yang belum tentu keluar lebih baik mencari bocoran soal.
11. Menganggap sistem penilaian tidak objektif, sehingga pendekatan pribadi kepada dosen/guru lebih efektif daripada belajar serius.
12. Penugasan guru/dosen yang tidak rasional yang mengakibatkan siswa/mahasiswa terdesak sehingga terpaksa menempuh segala macam cara.
13. Yakin bahwa dosen/guru tidak akan memeriksa tugas yang diberikan berdasarkan pengalaman sebelumnya sehingga bermaksud membalas dengan mengelabui dosen/guru yang bersangkutan.

Dampak yang timbul dari praktek menyontek yang secara terus menerus dilakukan akan mengakibatkan ketidakjujuran Jika tidak, niscaya akan muncul malapetaka: peserta didik akan menanam kebiasaan berbuat tidak jujur, yang pada saatnya nanti akan menjadi kandidat koruptor. (Poedjinoegroho, 2006)

Pengajaran yang orientasinya siswa mampu menjawab soal dan bukan pada pengertian serta pengembangan inovasi dan kreatifitas siswa akan menumbuhkan kebosanan, kejenuhan, suasana monoton yang dapat berakibat stress. Sudah waktunya sistem pendidikan kita bersifat two way communication antara guru/dosen dan siswa/mahasiswa. Kelompok kerja makalah, presentasi, pembuatan alat peraga, studi lapangan (misalnya ke pabrik salah satu orang tua siswa) kiranya lebih digiatkan daripada menimbuni siswa/mahasiswa dengan soal-soal yang banyak tapi dikerjakan dengan menyontek. (Widiawan,1995)

Jika masalah mencontek ini masih saja dianggap sepele oleh semua orang, tidak akan respon dan tanggapan dari guru, kepala sekolah, pengawas, dinas pendidkan para pakar pendidikan dan pengambil kebijakan dalam bidang pendidikan, penulis pesimis dunia pendidikan akan maju, kreatifitas siswa akan hilang yang tumbuh mungkin orang-orang yang tidak jujur yang bekerja disemua sektor kehidupan.

Cara menghilangkan budaya tersebut


Mencermati kasus yang terjadi dan berdasarkan pengalaman penulis sendiri sebagai seorang pelajar dan mahasiswa, sepertinya perbuatan mencontek ini susah sekali untuk dihilangkan. Paling tidak penulis sebagai bagian dari pendidik dapat meminimalisir perbuatan mencontek tersebut sesuai dengan kemampuan, dan ilmu yang penulis miliki.

Sebagai guru penulis sudah berusaha menjauhkan para siswa dari menyontek dengan memotivasi mereka agar percaya diri, yakin akan kemampuannya dan selalu berbuat jujur. Untuk menentukan nilai siswa hasil ulangan atau ujian bukan menjadi ukuran, karena pengalaman sebagai siswa sudah cukup memberi pelajaran bahwa semua siswa ingin dihargai, namun yang pantas dihargai adalah siswa yang jujur dalam segala hal. Sehingga penulis punya catatan tentang kemampuan siswa, karakteristiknya data-data keluarga dan lain sebagainya. Penulis sering memberi tes secara lisan karena cara ini dianggap efektif menimalisir cheating tersebut.

Pemberian tes lisan ini dilakukan penulis secara bertahap, tidak sekaligus pada waktu ulangan atau ujian, karena cara ini menggunakan waktu yang lama. Disamping itu tes tulisan juga masih digunakan sebagai pembanding kemampuan siswa-siswi
Penulis mengharapkan ada kesepakatan bersama semua komponen yang terlibat langsung dalam dunia pendidikan untuk memerangi masalah menyontek atau cheating bagi pelajar dalam ulangan atau ujian yang diberikan oleh guru, sekolah maupun pemerintah (Ujian Nasional). Karena sistem sekarang ini masih menggunakan penilaian nasional, maka yang terpenting kita sebagai subyek pendidikan yang berlaku jujur dalam mengelola pendidikan. Guru dalam menilai harus jujur, pengawas harus jujur mengawasi para siswa, kepala sekolah harus jujur dan bijaksana dalam mengambil keputusan. Jangan malu dan takut dikatakan gagal meluluskan siswa-siswinya dalam ujian

Related Articles

0 komentar:

Posting Komentar